Senin, Mei 25, 2009

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI

PREVIOUS PAGES :
1. PENDAHULUAN

2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN


4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU




KESIMPULAN

1. Iman adalah fondasi yang diletakkan oleh KRISTUS

2. Iman menyatakan rasa percaya kepada ALLAH dan percaya kepada firman-Nya, sehingga segala tindakan kita menjadi BUKTI dari iman yang menghasilkan buah, selanjutnya diintegrasi dalam kehidupan maupun tanggung jawab khusus kita sebagai guru.

3. PERTUMBUHAN IMAN diuji melewati berbagai proses kesulitan hidup



REFERENSI


Pengantar pendidikan. (2006). Dasar-dasar Alkitabiah dan Teologi Pendidikan Kristen. Universitas Pelita Harapan.

Katoppo, P. G. ( ). Ruang istilah: iman dan percaya. Diambil tanggal 17 Mei 2009, dari http://www.alkitab.or.id/biblika/RuangIstilah4.htm).

Tong, S. (1998). Iman pengharapan dan kasih dalam krisis. Momentum: Surabaya

Tong, S. (1999). Iman penderitaan dan hak asasi manusia. Momentum: Surabaya.

Tong, S. (2004). From faith to faith; dari iman kepada iman. Momentum: Surabaya.

_______ . (tanpa tahun). Peran Guru di Sekolah dan Masyarakat. Diambil tanggal 16 Mei 2009, dari www.uns.ac.id/data/sp6.pdf.






4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU

PREVIOUS PAGES :

1. PENDAHULUAN

2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN



Keputusan dan tindakan yang kita ambil untuk menyelesaikan suatu masalah kehidupan berdasarkan dari kepercayaan kita akan sesuatu yang nyata. Hal ini juga berlaku bagi guru dalam menjalankan perannya. Saat guru menjalankan perannya tentulah tidak terlepas dari berbagai masalah. Dalam situs www.uns.ac.id , peran guru di sekolah dan di masyarakat ada empat yaitu peran guru sebagai profesional, peran guru terhadap siswa, peran guru terhadap masyarakat, dan peran guru terhadap guru lainnya. Peran yang paling vital di antara keempat peran guru tersebut adalah peran guru terhadap siswa karena komunitas utama guru dalam menjalankan tugasnya adalah di dalam kelas, yaitu memberikan keteladanan dan mentransfer ilmu pengetahuan.

Keteladanan guru memegang peranan penting dalam mendidik siswa, seperti ada pepatah yang mengatakan, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Perilaku yang ditunjukkan guru saat proses belajar mengajar pastilah akan ditiru oleh siswa, sehingga seorang guru harus benar-benar memperhatikan perilaku dan perkataannya. Perilaku dan perkataan seorang guru mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh guru tersebut. Kita dapat mengetahui nilai-nilai yang dianut oleh seseorang dengan cara mengetahui prioritas-prioritas mereka, misalnya dalam cara mereka memanfaatkan waktu, uang atau saat mereka mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah (Pengantar Pendidikan, 2006, p. 4). Nilai-nilai yang dianut oleh seorang guru secara otomatis akan mudah diserap oleh siswa-siswanya. Oleh karena itulah, nilai-nilai yang dianut oleh seorang guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran siswa.


Seorang guru Kristen sudah seharusnya memiliki nilai-nilai dan prinsip hidup Kristen. Hal ini dilatarbelakangi oleh aktivitas-aktivitas rohani yang ‘berbau’ Kristen yang sering dilakukan dalam hidup kesehariannya, misalnya beribadah di gereja seminggu sekali, mengikuti kelompok-kelompok pemahaman Alkitab dan lain sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah; apakah aktivitas-aktivitas tersebut hanya merupakan sebuah rutinitas atau sudah menjadi sebuah gaya hidup? Aktivitas-aktivitas kerohanian yang sudah menjadi gaya hidup dapat dilihat melalui integritas yang dimiliki oleh guru tersebut.


Guru Kristen harus memiliki integritas kekristenan yang melekat terus sepanjang hidupnya. Adanya integritas ini menjadikan seorang guru menjadi seorang pribadi yang tidak hanya mentransferkan ilmu kepada siswa-siswanya tetapi juga mentransferkan nilai-nilai dan prinsip hidup yang berdasarkan Kristus. Seorang guru Kristen menjadikan Alkitab yang merupakan firman TUHAN sebagai dasar dari segala sesuatu, termasuk ilmu pengetahuan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh guru-guru non Kristen karena bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah, ilmu pengetahuan hanya berdasarkan pada segala sesuatu yang dapat dijelaskan secara rasional dan dapat dilihat secara kasat mata serta dirasakan secara indrawi.


Guru Kristen terpanggil untuk bertumbuh ke arah pengenalan yang semakin dalam dan lengkap tentang pribadi Yesus Kristus, seperti yang tertulis dalam Kolose 2:6-7, “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam DIA. Hendaklah kamu berakar di dalam DIA dan dibangun di atas DIA, hendaklah kamu bertambah teguh di dalam iman yang telah dakujarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Ada banyak segi kehidupan Yesus Kristus yang perlu diteladani oleh guru Kristen yang memiliki integritas kekristenan mencerminkan pribadi Kristus yang menjadi dasar pegangannya, yaitu:

1. Segi INTEGRITAS
Yesus memperlihatkan kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan (Matius 5:44 dan Lukas 23:34).
2. Segi KASIH
Yesus menerima orang apa adanya dan mendorong mereka untuk berserah kepada Allah (Yohanes 1:14 ; Filipi 2:5-11). Yesus juga sangat mengasihi dan mengenal murid-murid-NYA dengan baik sehingga Ia mengetahui perkembangan rohani mereka.
3. Segi KREATIF
Metode pengajaran Yesus bervariasi dan sangat kreatif. Yesus seringkali mengajar menggunakan perumpamaan dan bersifat komunikatif dengan para pendengarnya.
4. Segi RELEVAN
Ajaran Yesus selalu relevan bagi pendengarnya dan bersifat otoratif dan efektif (Matius 7:28-29)
5. Segi REALITAS dan RELASIONAL
Ajaran Yesus selalu sederhana dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari para pendengarnya dan mengajarkan para pendengarnya untuk memiliki hubungan antar pribadi yang harmonis.

Guru Kristen merepresentasikan segi-segi kehidupan Kristus termasuk dalam mengajar siswa-siswanya. Guru Kristen seringkali menghadapi harapan-harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak semua siswa di dalam kelasnya berperilaku baik dan berprestasi seperti yang diharapkan. Ada juga siswa yang tergolong lambat dalam menyerap pelajaran dibandingkan dengan siswa-siswa yang lain, selain itu ada juga siswa yang berperilaku buruk dan susah disiplinkan. Hal ini menuntut kesabaran seorang guru karena proses untuk mengubah perilaku siswa membutuhkan waktu yang relatif lama. Hasil yang diharapkan seringkali tidak bisa langsung dilihat secara kasat mata. Hal inilah yang sering membuat guru mulai jenuh dan kehilangan harapan, ditambah lagi dengan pergumulan pribadi yang dihadapinya. Apa yang harus dilakukan oleh seorang guru Kristen dalam menghadapi hal ini?


Permasalahan yang dihadapi oleh guru Kristen ini tidaklah lepas dari natur keberdosaan siswa. Guru Kristen harus menyadari bahwa siswa-siswanya juga memiliki warisan dosa keturunan, sehingga hal-hal inilah yang membuat siswa seringkali tidak dapat memenuhi harapan guru, khususnya dalam sisi afektif (sikap dan tingkah laku). Keterbatasan siswa dalam menyerap mata pelajaran-mata tertentu karena siswa adalah pribadi ciptaan Allah yang unik. Guru Kristen harus menyadari keunikan tersebut dan meminta hikmat kepada Allah untuk mengerti setiap keunikan siswa-siswanya. Mengandalkan Allah ketika menghadapi berbagai permasalahan dalam mengajar, merupakan sebuah langkah iman yang dilakukan oleh seorang guru Kristen. Menurut Tong (1998, p. 26), iman berarti pengembalian jiwa seseorang kepada sumber dan sasaran hidupnya. [bersambung ke5. KESIMPULAN DAN REFERENSI]


NEXT PAGES :

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI










Jumat, Mei 22, 2009

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN

PREVIOUS PAGES :

1. PENDAHULUAN

2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP



Seringkali kejadian yang kita alami tidak sesuai dengan harapan kita. Hal ini sudah menjadi masalah klasik yang dialami semua orang. Lalu bagaimana dengan definisi iman yang tertulis di dalam Ibrani 11:1?
Fakta yang berkontradiksi ini membuat manusia seringkali meragukan kebenaran yang tertulis dalam Ibrani 11:1 atau dengan kata lain, manusia mulai meragukan benih iman yang sudah diletakkan Allah di dalam dirinya sejak semula. Dalam natur keberdosaan, manusia cenderung menuntut suatu bukti nyata yang dapat dialami oleh pancaindra dan dapat diterima oleh logika manusia. Manusia cenderung menggunakan rasionya untuk menilai dan menyikapi hal-hal yang dialaminya. Inilah yang merupakan kesalahan pemikiran “dari rasio kepada iman” (Tong, 2004, p. 37).

Kesenjangan antara iman dengan kenyataan disebabkan oleh natur keberdosaan manusia. Keterbatasan pikiran manusia akibat dosa menyebabkan manusia seringkali tidak mengerti rancangan Allah bagi dirinya. Hal yang seringkali terjadi adalah manusia menganggap pemikirannyalah yang paling baik dan menjawab kebutuhannya, namun pemikiran manusia ini tidak selalu selaras dengan pemikiran Allah. Hal ini seperti yang tertulis dalam Yesaya 55:8-9 “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikakunlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”


Pemikiran manusia dapat selaras dengan pemikiran Allah jika manusia memiliki hubungan yang intim dengan Allah dan memelihara pertumbuhan iman dalam hatinya. Pertumbuhan iman berbicara tentang proses yang harus dialami manusia sehingga manusia sadar akan keberadaan dirinya di hadapan Allah (Tong, 1999, p. 70). Proses ini meliputi sukacita, kesulitan, krisis, bahkan penderitaan yang datang silih berganti. Berikut ini sebuah contoh kasus nyata mengenai pergulatan iman seorang anak yang hidup dalam sebuah keluarga broken home.


“Semua anak yang hidup di dunia ini tentunya menginginkan kehidupan keluarga yang harmonis, namun hal yang terjadi justru sebaliknya. Sejak aku duduk di bangku SD, ayah dan ibunya sering bertengkar. Aku harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku harus berpisah saat aku duduk di bangku kelas 6 SD. Aku tinggal bersama ayah, sedangkan adikku tinggal bersama ibu. Masalah ini sangat mempengaruhi kondisi psikologikut. Hidup yang terus berjalan membuat aku tidak mampu menghindari kenyataan tersebut, bahkan saat ayahku memutuskan untuk menikah lagi dan aku harus tinggal bersama nenek. Tahun berganti tahun, aku harus hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Aku hidup dalam rasa tertekan sehingga hubungan pribadiku dengan Tuhan menjadi buruk. Aku jadi malas ke gereja dan tidak melakukan saat teduh. Setelah dewasa, dalam pergumulan hidupku, aku terus mempertanyakan dan terus mencari makna kasih Tuhan di balik kesulitan hidup yang aku jalani. Akhirnya, saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA, aku mengalami kelahiran kembali melalui seorang kakak rohani. Pertemuanku dengan kakak rohani itu terjadi saat aku mengikuti persekutuan anak-anak muda Kristen di daerah tempat tinggalku. Sejak aku lahir baru, pola pikirku mulai terbuka bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan tangan kasihNya. Salah satu bukti kasih Allah yang aku sadari yaitu aku tetap meraih prestasi yang baik dalam pendidikan di sekolah meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit. Selangkah demi selangkah, aku menjadi semakin mengerti bahwa Tuhan senantiasa berdaulat dalam seluruh kehidupanku. Tuhan mempunyai rancangan indah yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku akhirnya menyerahkan hidupku dalam tuntunan Tuhan.”


Berdasarkan contoh kasus nyata di atas, anak tersebut mengalami kesenjangan antara iman dengan kenyataan yang ia alami. Konsep Allah yang penuh kasih sudah tertanam dalam pikirannya sejak ia masih anak-anak, tetapi konsep tersebut perlahan-lahan mulai kabur saat ia diperhadapkan dengan perceraian kedua orang tuanya. Melalui kejadian ini, ia mengalami suatu proses mempertanyakan kedaulatan Allah. Allah yang penuh kasih “seharusnya” tidak membiarkan kedua orang tuanya bercerai, bahkan “seharusnya” Allah sanggup mencegah perceraian tersebut. Pergulatan iman yang ia alami selama bertahun-tahun berujung pada pengenalan pribadi akan Kristus. Ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus sehingga ia memutuskan untuk lahir baru. Kejadian ini menggambarkan sebuah proses manusia yang mengalami kesenjangan antara iman dengan kenyataan, namun pada akhirnya melalui proses inilah manusia semakin mengenal “siapa Allah yang sebenarnya”. [bersambung ke4.INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU]


NEXT PAGES :

4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI


















2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP

PREVIOUS PAGES :

1. PENDAHULUAN

Ada sebuah analogi mengenai iman yang ditulis oleh Stephen Tong dalam bukunya From faith to faith (2004, p. 9-10) yaitu iman Kristen dianalogikan seperti buah berbiji. Kita makan daging buah dari buah berbiji dan biji yang tersisa dapat ditanam lagi untuk kembali menghasilkan buah. Sama halnya dengan iman, iman yang ada dalam diri kita berasal dari benih yang ditanamkan oleh Allah sendiri melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus sudah mati di kayu salib dan menjadikan diri-Nya sebagai benih awal. Pada saat benih iman ditanamkan ke dalam hati kita, hal inilah yang membuat kita percaya kepada Kristus sehingga kita diselamatkan dan dibenarkan di hadapan Allah. Namun, hal ini tidak berhenti sampai di sini. Melalui kehidupan kita sebagai orang beriman, kita harus menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan kita, yakni buah Roh (Galatia 5:22-23).

Kehidupan kita yang berbuah inilah yang membuat kita dapat “dinikmati” oleh orang lain sehingga mereka dapat mengenal Kristus. Seperti yang tertulis dalam I Timotius 6:11 “Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetakuan, kasih, kesabaran, dan kelembutan.” Istilah “manusia Allah” yang digunakan Paulus mengartikan bahwa kita sebagai manusia merepresentasikan sifat-sifat Allah dalam hidup kita sehingga orang-orang merasakan kehadiran Allah melalui kita. Ketika orang lain mulai tertarik dengan representasi Allah melalui kita, sudah sewajarnya kita mulai membawa mereka kepada pengenalan Allah yang sejati yaitu melalui Yesus Kristus. Proses ini menuntut harga yang harus dibayar. Misalnya; kita dapat dikucilkan oleh teman-teman kita ketika memberitakan Injil. Contoh lainnya yaitu kita harus memberikan waktu untuk berdoa bagi mereka yang membuat hati kita terbeban di sela-sela kepadatan aktivitas kita. Hal-hal inilah yang dapat dianalogikan bahwa kita sebagai orang beriman kepada Kristus seperti biji yang siap ditanam dan melebur kembali di dalam tanah untuk bertumbuh dan menghasilkan buah yang baru. Inilah yang dinamakan sirkulasi hidup, “kebenaran Allah bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Roma 1:17). [bersambung ke.. 3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN]


NEXT PAGES :

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN

4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI


















Kamis, Mei 21, 2009

1. PENDAHULUAN

“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”

(Ibrani 11:1)

Kata "iman" dan kata kerjanya "percaya" sering muncul dalam Alkitab dan merupakan istilah penting yang menggambarkan hubungan antara umat atau seseorang dengan Allah. Kata "iman" yang dipakai dalam Perjanjian Baru merupakan terjemahan dari kata Yunani ‘pistis’ sedangkan kata kerjanya "percaya" adalah terjemahan dari kata ‘pisteuoo’. Kata-kata ini sudah dipakai dalam Septuaginta, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dalam bahasa Yunani, sebagai terjemahan kata Ibrani ‘aman’, yang berarti keadaan yang benar dan dapat dipercayai atau diandalkan. Kata ini dan kata-kata sekelompoknya dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk menyatakan rasa percaya kepada Allah dan percaya kepada firman-Nya. Percaya kepada Allah mencakup arti percaya bahwa Aku benar dan dapat diandalkan, mempercayakan diri kepada-Nya, dan taat serta setia kepada-Nya. Percaya pada firman-Nya berarti percaya dan menerima yang sudah difirmankan-Nya itu (Katoppo. tanpa tahun). Ketika seseorang mengatakan ia beriman maka ia taat terhadap imannya, maka ia akan melakukan apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar-benar benar sehingga segala tindakannya menjadi bukti iman.

Iman yang diyakini seseorang tidak dapat dilihat oleh orang lain tapi dia meyakini bahwa Tuhan melihat imannya itu. Iman orang Kristen akan selalu menghantarnya pada suatu keyakinan bahwa Yesus Kristuslah yang menjadi sumber iman dan yang menyelamatkannya. Iman adalah fondasi yang diletakkan oleh Kristus, Sang Pemulai dan Penyempurna iman kita, oleh karena itu seluruh aspek iman Kristen berpusat kepada Kristus (Tong, 2004, p. 10). Prinsip dari iman kepada iman berarti bagi seseorang untuk dapat beriman, dasarnya adalah iman, dan justru iman itu yang kemudian akan membawa kita kepada penglihatan, pengalaman, pengertian, dan bukti, bukan sebaliknya.


Berdasarkan Roma 1:17 “sebab di dalam nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘orang benar akan hidup oleh iman’.” Prinsip dari iman kepada iman seharusnya mewarnai seluruh kehidupan orang Kristen setiap saat, yaitu kehidupan yang senantiasa bertumbuh melalui pengajaran firman Tuhan, bertumbuh dalam pengetahuan, hidup berkemenangan dalam Kristus.
[bersambung ke2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP]

NEXT PAGES :

2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN

4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI