Jumat, Mei 22, 2009

3. KESENJANGAN PRAKTEK IMAN DENGAN KENYATAAN

PREVIOUS PAGES :

1. PENDAHULUAN

2. INTEGRASI IMAN DENGAN HIDUP



Seringkali kejadian yang kita alami tidak sesuai dengan harapan kita. Hal ini sudah menjadi masalah klasik yang dialami semua orang. Lalu bagaimana dengan definisi iman yang tertulis di dalam Ibrani 11:1?
Fakta yang berkontradiksi ini membuat manusia seringkali meragukan kebenaran yang tertulis dalam Ibrani 11:1 atau dengan kata lain, manusia mulai meragukan benih iman yang sudah diletakkan Allah di dalam dirinya sejak semula. Dalam natur keberdosaan, manusia cenderung menuntut suatu bukti nyata yang dapat dialami oleh pancaindra dan dapat diterima oleh logika manusia. Manusia cenderung menggunakan rasionya untuk menilai dan menyikapi hal-hal yang dialaminya. Inilah yang merupakan kesalahan pemikiran “dari rasio kepada iman” (Tong, 2004, p. 37).

Kesenjangan antara iman dengan kenyataan disebabkan oleh natur keberdosaan manusia. Keterbatasan pikiran manusia akibat dosa menyebabkan manusia seringkali tidak mengerti rancangan Allah bagi dirinya. Hal yang seringkali terjadi adalah manusia menganggap pemikirannyalah yang paling baik dan menjawab kebutuhannya, namun pemikiran manusia ini tidak selalu selaras dengan pemikiran Allah. Hal ini seperti yang tertulis dalam Yesaya 55:8-9 “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikakunlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”


Pemikiran manusia dapat selaras dengan pemikiran Allah jika manusia memiliki hubungan yang intim dengan Allah dan memelihara pertumbuhan iman dalam hatinya. Pertumbuhan iman berbicara tentang proses yang harus dialami manusia sehingga manusia sadar akan keberadaan dirinya di hadapan Allah (Tong, 1999, p. 70). Proses ini meliputi sukacita, kesulitan, krisis, bahkan penderitaan yang datang silih berganti. Berikut ini sebuah contoh kasus nyata mengenai pergulatan iman seorang anak yang hidup dalam sebuah keluarga broken home.


“Semua anak yang hidup di dunia ini tentunya menginginkan kehidupan keluarga yang harmonis, namun hal yang terjadi justru sebaliknya. Sejak aku duduk di bangku SD, ayah dan ibunya sering bertengkar. Aku harus menerima kenyataan bahwa orang tuaku harus berpisah saat aku duduk di bangku kelas 6 SD. Aku tinggal bersama ayah, sedangkan adikku tinggal bersama ibu. Masalah ini sangat mempengaruhi kondisi psikologikut. Hidup yang terus berjalan membuat aku tidak mampu menghindari kenyataan tersebut, bahkan saat ayahku memutuskan untuk menikah lagi dan aku harus tinggal bersama nenek. Tahun berganti tahun, aku harus hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Aku hidup dalam rasa tertekan sehingga hubungan pribadiku dengan Tuhan menjadi buruk. Aku jadi malas ke gereja dan tidak melakukan saat teduh. Setelah dewasa, dalam pergumulan hidupku, aku terus mempertanyakan dan terus mencari makna kasih Tuhan di balik kesulitan hidup yang aku jalani. Akhirnya, saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA, aku mengalami kelahiran kembali melalui seorang kakak rohani. Pertemuanku dengan kakak rohani itu terjadi saat aku mengikuti persekutuan anak-anak muda Kristen di daerah tempat tinggalku. Sejak aku lahir baru, pola pikirku mulai terbuka bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan tangan kasihNya. Salah satu bukti kasih Allah yang aku sadari yaitu aku tetap meraih prestasi yang baik dalam pendidikan di sekolah meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit. Selangkah demi selangkah, aku menjadi semakin mengerti bahwa Tuhan senantiasa berdaulat dalam seluruh kehidupanku. Tuhan mempunyai rancangan indah yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku akhirnya menyerahkan hidupku dalam tuntunan Tuhan.”


Berdasarkan contoh kasus nyata di atas, anak tersebut mengalami kesenjangan antara iman dengan kenyataan yang ia alami. Konsep Allah yang penuh kasih sudah tertanam dalam pikirannya sejak ia masih anak-anak, tetapi konsep tersebut perlahan-lahan mulai kabur saat ia diperhadapkan dengan perceraian kedua orang tuanya. Melalui kejadian ini, ia mengalami suatu proses mempertanyakan kedaulatan Allah. Allah yang penuh kasih “seharusnya” tidak membiarkan kedua orang tuanya bercerai, bahkan “seharusnya” Allah sanggup mencegah perceraian tersebut. Pergulatan iman yang ia alami selama bertahun-tahun berujung pada pengenalan pribadi akan Kristus. Ia mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus sehingga ia memutuskan untuk lahir baru. Kejadian ini menggambarkan sebuah proses manusia yang mengalami kesenjangan antara iman dengan kenyataan, namun pada akhirnya melalui proses inilah manusia semakin mengenal “siapa Allah yang sebenarnya”. [bersambung ke4.INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU]


NEXT PAGES :

4. INTEGRASI IMAN DENGAN TANGGUNG JAWAB SEBAGAI GURU

5. KESIMPULAN DAN REFERENSI


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar